Pada dekade 1920-an, Palembang sedang berada dalam masa transisi. Kota di tepi Sungai Musi ini menjadi pusat perdagangan penting di Sumatra bagian selatan, tempat komoditas seperti karet, lada, kopi, dan hasil bumi lainnya dikumpulkan untuk diekspor. Modernisasi yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda mulai tampak: jalan-jalan diperkeras, gedung-gedung bergaya kolonial berdiri di kawasan Ilir, dan berbagai moda transportasi mulai hadir.
Di tengah dinamika itu, dua alat transportasi menjadi pemandangan sehari-hari di jalanan Palembang: delman dan rikshaw.
🐎 Delman: Jejak Tradisi dan Status
Delman (sering juga disebut dokar atau andong di Jawa) adalah kereta kuda beroda dua atau empat.
-
Fungsi utama: mengangkut penumpang dari satu kawasan ke kawasan lain di dalam kota.
-
Pengguna: pedagang kaya, pejabat, dan kalangan bangsawan, karena delman menawarkan kenyamanan serta menjadi simbol status sosial.
-
Konteks Palembang: delman banyak digunakan di jalan-jalan besar yang menghubungkan pasar, pelabuhan, dan kawasan perdagangan di Ilir.
Hingga tahun 1920-an, delman masih menjadi kendaraan bergengsi, meskipun perlahan mulai bersaing dengan mobil-mobil impor Eropa.
🚲 Rikshaw: Transportasi Rakyat
Rikshaw (serapan dari bahasa Inggris rickshaw, artinya “jinrikisha” atau kendaraan manusia) diperkenalkan ke Hindia Belanda dari Tiongkok dan Jepang pada awal abad ke-20.
-
Bentuk awal: kursi beroda dua yang ditarik oleh seorang manusia.
-
Fungsi utama: transportasi murah untuk jarak pendek, terutama di pusat kota yang ramai.
-
Pengguna: masyarakat kelas menengah ke bawah, pedagang pasar, hingga warga yang membutuhkan perjalanan singkat.
Seiring waktu, rikshaw berkembang menjadi becak kayuh, tetapi pada era 1920 masih didominasi bentuk tarik. Kehadirannya di Palembang menandai modernitas sekaligus adaptasi budaya transportasi Asia.
🌆 Kehidupan Jalanan Palembang 1920
Foto-foto arsip kolonial, seperti yang terdapat dalam Album Sumatra koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen (Wereldculturen, Belanda), menunjukkan suasana jalan Palembang tahun 1920-an:
-
Gedung dagang bergaya kolonial dengan papan nama Eropa (contoh: “R & Co”).
-
Lalu lalang delman di jalan utama.
-
Rikshaw sebagai transportasi rakyat di sela hiruk pikuk pasar.
Keduanya hidup berdampingan, menjadi simbol kontras antara kemewahan dan kesederhanaan, sekaligus menggambarkan keberagaman sosial kota Palembang.
Delman dan rikshaw bukan sekadar alat angkutan, melainkan cermin kehidupan kota Palembang pada awal abad ke-20. Delman melambangkan status dan tradisi, sementara rikshaw hadir sebagai pilihan rakyat. Kehadiran keduanya memperlihatkan bagaimana Palembang menyesuaikan diri dengan arus modernisasi, tanpa sepenuhnya meninggalkan wajah lamanya sebagai kota air yang tumbuh dari pertemuan berbagai budaya.
📖 Sumber Referensi :
-
Album Sumatra, Palembang (stadsgemeente), ca. 1920. Nationaal Museum van Wereldculturen (Wereldculturen / Tropenmuseum / Museum Volkenkunde).
-
Delpher.nl – Arsip koran Hindia Belanda (De Sumatra Post, Palembangsch Nieuwsblad).
-
Nas, P.J.M. (1990). Palembang: The City of a Thousand Fireplaces. Leiden: KITLV Press.
-
Reid, Anthony. (2014). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680, Jakarta: Yayasan Obor (untuk konteks perdagangan & transportasi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar