Lomba Perahu Bidar di Sungai Musi: Jejak Sejarah dalam Dayung

Di Palembang, Sungai Musi bukan sekadar aliran air. Ia adalah nadi kehidupan, panggung budaya, dan saksi sejarah. Salah satu tradisi yang tumbuh dari sungai ini adalah lomba perahu bidar—perlombaan perahu panjang dengan puluhan pendayung yang bergerak serempak, menciptakan harmoni kekuatan dan kebersamaan.

Sebuah foto bersejarah, diabadikan oleh Dr. H.F. (Hendrik Freerk) Tillema sekitar tahun 1924–1932, memperlihatkan semaraknya perlombaan bidar di Sungai Musi. Dalam bingkai hitam putih, kita melihat bagaimana air bergejolak oleh hentakan dayung, sementara rumah-rumah rakit berjajar di kejauhan menjadi saksi bisu.

Foto ini kini tersimpan rapi di Museum Volkenkunde, Leiden (Belanda), bagian dari Nationaal Museum van Wereldculturen. Dengan nomor inventaris RV-A440-s-165, karya ini dikategorikan sebagai bagian dari “recreatie, sport en spel” (rekreasi, olahraga, dan permainan). Hasil cetak gelatine zilverdruk berukuran 15 x 20 cm ini bukan hanya dokumentasi, tetapi juga jendela sejarah yang menghubungkan kita dengan masa lalu Palembang.

Tradisi bidar sejak dahulu tak pernah sekadar olahraga. Ia adalah simbol semangat gotong-royong, keberanian, dan kekompakan. Pada masa Kesultanan Palembang, bidar digelar untuk menyambut tamu agung atau merayakan peristiwa penting. Kini, semarak bidar tetap hidup, terutama saat  peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, ketika Sungai Musi kembali bergetar oleh dentuman dayung yang berpacu dengan arus.

Lebih dari sekadar lomba, bidar adalah cerita tentang sungai yang menghidupi, masyarakat yang berpaut pada air, dan tradisi yang terus mengalir—tak lekang oleh zaman, sebagaimana Musi yang tak pernah berhenti mengalir.

📌 Sumber Arsip Foto:

  • Koleksi: Museum Volkenkunde (Nationaal Museum van Wereldculturen), Leiden – Belanda

  • Fotografer: Dr. H.F. (Hendrik Freerk) Tillema

  • Nomor inventaris: RV-A440-s-165

  • Tahun: ± 1924–1932

  • Lokasi: Palembang, Sumatera Selatan, Hindia Belanda

  • Kategori: Recreatie, sport en spel (rekreasi, olahraga, permainan)

  • Medium: Gelatine zilverdruk, 15 x 20 cm

  • Sumber daring: Collectie Wereldculturen – Nationaal Museum van Wereldculturen

 

🚋 Delman dan Rikshaw di Palembang Tahun 1920

 


Pada dekade 1920-an, Palembang sedang berada dalam masa transisi. Kota di tepi Sungai Musi ini menjadi pusat perdagangan penting di Sumatra bagian selatan, tempat komoditas seperti karet, lada, kopi, dan hasil bumi lainnya dikumpulkan untuk diekspor. Modernisasi yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda mulai tampak: jalan-jalan diperkeras, gedung-gedung bergaya kolonial berdiri di kawasan Ilir, dan berbagai moda transportasi mulai hadir.

Di tengah dinamika itu, dua alat transportasi menjadi pemandangan sehari-hari di jalanan Palembang: delman dan rikshaw.

🐎 Delman: Jejak Tradisi dan Status

Delman (sering juga disebut dokar atau andong di Jawa) adalah kereta kuda beroda dua atau empat.

  • Fungsi utama: mengangkut penumpang dari satu kawasan ke kawasan lain di dalam kota.

  • Pengguna: pedagang kaya, pejabat, dan kalangan bangsawan, karena delman menawarkan kenyamanan serta menjadi simbol status sosial.

  • Konteks Palembang: delman banyak digunakan di jalan-jalan besar yang menghubungkan pasar, pelabuhan, dan kawasan perdagangan di Ilir.

Hingga tahun 1920-an, delman masih menjadi kendaraan bergengsi, meskipun perlahan mulai bersaing dengan mobil-mobil impor Eropa.

🚲 Rikshaw: Transportasi Rakyat

Rikshaw (serapan dari bahasa Inggris rickshaw, artinya “jinrikisha” atau kendaraan manusia) diperkenalkan ke Hindia Belanda dari Tiongkok dan Jepang pada awal abad ke-20.

  • Bentuk awal: kursi beroda dua yang ditarik oleh seorang manusia.

  • Fungsi utama: transportasi murah untuk jarak pendek, terutama di pusat kota yang ramai.

  • Pengguna: masyarakat kelas menengah ke bawah, pedagang pasar, hingga warga yang membutuhkan perjalanan singkat.

Seiring waktu, rikshaw berkembang menjadi becak kayuh, tetapi pada era 1920 masih didominasi bentuk tarik. Kehadirannya di Palembang menandai modernitas sekaligus adaptasi budaya transportasi Asia.

 

🌆 Kehidupan Jalanan Palembang 1920

Foto-foto arsip kolonial, seperti yang terdapat dalam Album Sumatra koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen (Wereldculturen, Belanda), menunjukkan suasana jalan Palembang tahun 1920-an:

  • Gedung dagang bergaya kolonial dengan papan nama Eropa (contoh: “R & Co”).

  • Lalu lalang delman di jalan utama.

  • Rikshaw sebagai transportasi rakyat di sela hiruk pikuk pasar.

Keduanya hidup berdampingan, menjadi simbol kontras antara kemewahan dan kesederhanaan, sekaligus menggambarkan keberagaman sosial kota Palembang.

Delman dan rikshaw bukan sekadar alat angkutan, melainkan cermin kehidupan kota Palembang pada awal abad ke-20. Delman melambangkan status dan tradisi, sementara rikshaw hadir sebagai pilihan rakyat. Kehadiran keduanya memperlihatkan bagaimana Palembang menyesuaikan diri dengan arus modernisasi, tanpa sepenuhnya meninggalkan wajah lamanya sebagai kota air yang tumbuh dari pertemuan berbagai budaya.

📖 Sumber Referensi :

  • Album Sumatra, Palembang (stadsgemeente), ca. 1920. Nationaal Museum van Wereldculturen (Wereldculturen / Tropenmuseum / Museum Volkenkunde).

  • Delpher.nl – Arsip koran Hindia Belanda (De Sumatra Post, Palembangsch Nieuwsblad).

  • Nas, P.J.M. (1990). Palembang: The City of a Thousand Fireplaces. Leiden: KITLV Press.

  • Reid, Anthony. (2014). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680, Jakarta: Yayasan Obor (untuk konteks perdagangan & transportasi).

 

 

 

 

"Rumah yang Bertahan di Atas Air — Paalwoningen te Palembang"



Di kota sungai yang tak pernah lelah mengalirkan sejarah, Palembang menyimpan jejak arsitektur yang tak banyak dikenal—Paalwoningen te Palembang. Rumah panggung yang dulu berdiri kokoh di tepian rawa dan anak sungai, kini menjadi saksi dari masa yang perlahan tenggelam.

Aku menyusuri lorong waktu, menatap foto hitam putih dari Leiden University Libraries yang menggambarkan rumah-rumah tinggi bertiang kayu. Bangunan itu disebut Paalwoningen, dari bahasa Belanda: paal berarti tiang, woningen berarti rumah.

Rumah ini bukan rumah adat biasa. Ia lahir dari perpaduan cerdas antara budaya lokal dan teknik Belanda. Dibangun untuk menghadapi tanah Palembang yang lembab dan rawan banjir, rumah ini berdiri tinggi agar aman dari luapan sungai dan gangguan hewan liar.

Lantai rumah terbuat dari papan ulin atau kayu tembesu, tahan rayap dan tak mudah lapuk. Atapnya tinggi dan berventilasi—menyambut angin sebagai tamu tetap. Jendelanya besar, menghadap ke aliran sungai, seolah ingin mengajak air bercerita.

Kini, sebagian Paalwoningen tinggal kenangan, hanya bisa kita temui lewat dokumentasi lama, atau dalam bentuk yang sudah bertransformasi jadi rumah modern.

Namun, nilai-nilai dari rumah panggung ini tetap hidup. Arsitektur yang ramah lingkungan, menyatu dengan alam, dan memperhitungkan cuaca serta aliran air—semuanya adalah kearifan yang tak lekang oleh zaman.

Jika kamu berjalan ke kampung-kampung tua di sepanjang Musi, mungkin kau masih bisa melihat jejaknya. Rumah tinggi, bertiang, bersahaja—berdiri tenang di antara arus zaman yang terus berubah.

Karena di Palembang, rumah bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah warisan, ia adalah identitas.

Berikut beberapa Photo yang Jurnal Rahmad unduh di Leiden University Libraries 

KITLV 153933 (1930) Rumah Panggung di Palembang

KITLV 103150 (1926) Rumah Panggung di Palembang

Salam dari tepian Musi,
Jurnal Rahmad